Kamis, 24 Mei 2012

Invisible Barriers by B.J. Lee

Banyak dealer mobil buatan luar negeri di Korea Selatan berusaha keras menciptakan inovasi baru dalam memasarkan produkya. Sayangnya hal tersebut tidak banyak berpengaruh terhadap daya beli masyarakat Korea Selatan. Rendahnya daya beli tersebut disebabkan oleh semangat patriotisme warga yang tinggi. Sebagian besar warga lebih memilih membeli mobil buatan dalam negeri, seperti buatan Hyundai, Kia, atau Daewoo, dibandingkan mobil-mobil buatan luar negeri yang kualitasnya tidak kalah bagus.


Pola pikir dan budaya masyarakat tersebut sudah dibangun sejak kejayaan Korea Selatan pada Perang Dunia II. Rasa nasionalisme dan kebanggaan pada negerinya menjadikan masyarakat menganggap membeli barang import adalah penghianat, bahkan pemakai beberapa barang import, seperti rokok, mendapat hukuman penjara. Orang-orang yang berpergian ke luar negeri dan pengguna barang-barang import diperiksa karena dicurigai telah berlaku curang dalam pembayaran pajak. Walaupun hal-hal tersebut sudah tidak berlaku saat ini, namun pola pikir tersebut masih melekat kuat pada masyarakat. Selama krisis keuangan Asia saja (1997), banyak pejabat menanggap turunnya mata uang Korea adalah akibat dari pembelian barang-barang import. Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan masyarakat dan semakin menumbuhkan sikap anti terhadap barang buatan luar negeri.

Patriotisme tersebut tidak mudah luntur bahkan oleh dorongan arus globalisasi. Kebijakan pemerintah memotongan tariff import sampai 8%, pajak, dan peraturannya telah menjadikan Korea Selatan pasar mobil paling terbuka di dunia. Namun, masyarakatnya hampir tidak pernah membeli mobil buatan luar negeri. Masyarakat telah menjadikan barang mewah seperti mobil sebagai simbol patriotisme dan kebanggaannya terhadap bangsanya.

Pola pikir dan budaya masyarakat tersebut telah menjadi penghalang/rintangan tidak terlihat yang sulit ditembus oleh para importir, karena menjadi mekanisme yang berjalan dengan sendirinya di dalam masyarakat. Hal tersebut tetap kuat bertahan hingga saat ini karena keberhasilan penanaman ideologi dari pemerintah, baik secara positif maupun negatif tentang nasionalisme dan patriotisme. Semangat nasionalisme dan patriotisme tersebut telah menjadikan Korea Selatan negeri yang mandiri yang tidak banyak bergantung kepada luar negeri.

Kondisi ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan Indonesia. Semangat nasionalisme dan patriotisme berangsur-angsur luntur seiring dengan perkembangan jaman dan arus globalisasi. Produk-produk dari luar negeri membanjiri pasaran, menjadi lambang prestige (harga diri) bagi sebagian besar masyarakat. Budaya korupsi yang mementingkan diri sendiri maupun kelompok telah mendarah daging dan sukar diberantas. Perusakan alam dan lingkungan yang menggerogoti kesuburan negeri dan peperangan antar suku/daerah telah memperlihatkan bahwa semangat nasionalisme dan patriotisme yang kita punya tidak tertanam cukup kuat dalam masyarakat. Tidak adanya penjajahan secara nyata menyebabkan semangat tersebut hanya dipelajari dalam pelajaran sejarah di sekolah tanpa diterapkan dalam kehidupan. Namun seharusnya nasionalisme dan patriotisme dapat berkembang sesuai dengan keadaan jaman dan tantangan yang dihadapi bangsa.

 Rasa bangga dan cinta tanah air yang terus dipertahankan oleh masyarakat Korea patut kita tiru. Semangat nasionalisme dan patriotisme dapat dipupuk mulai dari hal-hal kecil, seperti tidak malu membeli produk buatan dalam negeri, menyaring kebudayaan luar yang masuk, mengembangkan semangat persaudaraan antar daerah, menjaga kelestarian alam dan lingkungan sekitar, mendukung keputusan pemerintah, bahkan mendukung tim nasional dalam pertandingan sepak bola melawan negeri lain adalah salah satu bentuk patriotisme yang perlu dikembangkan. Sebagai bagian dari negeri ini, kita harus bangga dan cinta tanah air kita apa adanya dengan menerima setiap kelebihan dan kekurangannya.

sumber: http://fa-fazblog.blogspot.com/2008/06/invisible-barriers.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar