Banyak dealer mobil buatan luar negeri di Korea Selatan berusaha keras
menciptakan inovasi baru dalam memasarkan produkya. Sayangnya hal tersebut
tidak banyak berpengaruh terhadap daya beli masyarakat Korea Selatan. Rendahnya
daya beli tersebut disebabkan oleh semangat patriotisme warga yang tinggi.
Sebagian besar warga lebih memilih membeli mobil buatan dalam negeri, seperti
buatan Hyundai, Kia, atau Daewoo, dibandingkan mobil-mobil buatan luar negeri
yang kualitasnya tidak kalah bagus.
Pola pikir dan budaya masyarakat tersebut sudah dibangun sejak kejayaan
Korea Selatan pada Perang Dunia II. Rasa nasionalisme dan kebanggaan pada
negerinya menjadikan masyarakat menganggap membeli barang import adalah
penghianat, bahkan pemakai beberapa barang import, seperti rokok, mendapat
hukuman penjara. Orang-orang yang berpergian ke luar negeri dan pengguna
barang-barang import diperiksa karena dicurigai telah berlaku curang dalam
pembayaran pajak. Walaupun hal-hal tersebut sudah tidak berlaku saat ini, namun
pola pikir tersebut masih melekat kuat pada masyarakat. Selama krisis keuangan
Asia saja (1997), banyak pejabat menanggap turunnya mata uang Korea adalah
akibat dari pembelian barang-barang import. Hal ini tentu saja menimbulkan
kemarahan masyarakat dan semakin menumbuhkan sikap anti terhadap barang buatan
luar negeri.
Patriotisme tersebut tidak mudah luntur bahkan oleh dorongan arus
globalisasi. Kebijakan pemerintah memotongan tariff import sampai 8%, pajak,
dan peraturannya telah menjadikan Korea Selatan pasar mobil paling terbuka di
dunia. Namun, masyarakatnya hampir tidak pernah membeli mobil buatan luar
negeri. Masyarakat telah menjadikan barang mewah seperti mobil sebagai simbol
patriotisme dan kebanggaannya terhadap bangsanya.
Pola pikir dan budaya masyarakat tersebut telah menjadi
penghalang/rintangan tidak terlihat yang sulit ditembus oleh para importir,
karena menjadi mekanisme yang berjalan dengan sendirinya di dalam masyarakat.
Hal tersebut tetap kuat bertahan hingga saat ini karena keberhasilan penanaman
ideologi dari pemerintah, baik secara positif maupun negatif tentang
nasionalisme dan patriotisme. Semangat nasionalisme dan patriotisme tersebut
telah menjadikan Korea Selatan negeri yang mandiri yang tidak banyak bergantung
kepada luar negeri.
Kondisi ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan Indonesia. Semangat
nasionalisme dan patriotisme berangsur-angsur luntur seiring dengan
perkembangan jaman dan arus globalisasi. Produk-produk dari luar negeri
membanjiri pasaran, menjadi lambang prestige (harga diri) bagi sebagian besar
masyarakat. Budaya korupsi yang mementingkan diri sendiri maupun kelompok telah
mendarah daging dan sukar diberantas. Perusakan alam dan lingkungan yang
menggerogoti kesuburan negeri dan peperangan antar suku/daerah telah
memperlihatkan bahwa semangat nasionalisme dan patriotisme yang kita punya
tidak tertanam cukup kuat dalam masyarakat. Tidak adanya penjajahan secara
nyata menyebabkan semangat tersebut hanya dipelajari dalam pelajaran sejarah di
sekolah tanpa diterapkan dalam kehidupan. Namun seharusnya nasionalisme dan
patriotisme dapat berkembang sesuai dengan keadaan jaman dan tantangan yang
dihadapi bangsa.
Rasa bangga dan cinta tanah air yang terus dipertahankan oleh masyarakat
Korea patut kita tiru. Semangat nasionalisme dan patriotisme dapat dipupuk
mulai dari hal-hal kecil, seperti tidak malu membeli produk buatan dalam
negeri, menyaring kebudayaan luar yang masuk, mengembangkan semangat
persaudaraan antar daerah, menjaga kelestarian alam dan lingkungan sekitar,
mendukung keputusan pemerintah, bahkan mendukung tim nasional dalam
pertandingan sepak bola melawan negeri lain adalah salah satu bentuk
patriotisme yang perlu dikembangkan. Sebagai bagian dari negeri ini, kita harus
bangga dan cinta tanah air kita apa adanya dengan menerima setiap kelebihan dan
kekurangannya.
sumber: http://fa-fazblog.blogspot.com/2008/06/invisible-barriers.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar